Sabtu, 05 Oktober 2013

Asuransi dalam pandangan islam

asslm. ustdz mhn pejelasan detail terkait bagaimana hukum asuransi? syukran

wa’alaikumussalm wrwb.
Asuransi bukanlah termasuk bentuk
perniagaan yang dihalalkan dalam Islam,
sebab perusahaan asuransi tidaklah pernah
melakukan praktik perniagaan sedikitpun
dengan nasabahnya.
Asuransi diharamkan karena mengandung
unsur riba, yaitu bila nasabah menerima
uang klaim, dan ternyata jumlah uang klaim
yang ia terima melebihi jumlah total setoran
yang telah ia bayarkan.
Asuransi mengandung tindak kezhaliman,
yaitu perusahaan asuransi memakan harta
nasabah dengan cara-cara yang tidak
dibenarkan dalam syariat. Hal ini dapat
terjadi pada dua kejadian:
Kejadian pertama: Apabila nasabah selama
hidupnya tidak pernah mengajukan klaim,
sehingga seluruh uang setorannya tidak akan
pernah kembali, alias hangus.
Tatkala perekonomian dengan basis syariat
sedang gencar digalakkan, maka perusahaan-
perusahaan asuransi pun tidak mau
ketinggalan. Mereka rame-rame memikat
nasabah dengan berbagai produk asuransi
syariah. Mereka mengklaim bahwa produk-
produk mereka telah selaras dengan prinsip
syariah.
Secara global, mereka menawarkan dua jenis
pilihan:
ASURANSI UMUM SYARIAH.
Pada pilihan ini, mereka mengklaim bahwa
mereka menerapkan metode bagi hasil/
mudharabah. Yaitu bila telah habis masa
kontrak, dan tidak ada klaim, maka
perusahaan asuransi akan mengembalikan
sebagian dana/ premi yang telah disetorkan
oleh nasabah, dengan ketentuan 60:40 atau
70:30. Adapun berkaitan dana yang tidak
dapat ditarik kembali, mereka mengklaimnya
sebagai dana tabarru' atau hibah.
Asuransi jiwa syariah.
Pada pilihan ini, bila nasabah hingga jatuh
tempo tidak pernah mengajukan klaim, maka
premi yang telah disetorkan, akan hangus.
Perilaku ini diklaim oleh perusahaan
asuransi sebagai hibah dari nasabah kepada
perusahaan (Majalah MODAL edisi 36, 2006,
hal. 16).
Subhanallah, bila kita pikirkan dengan
seksama, kedua jenis produk asuransi syariat
di atas, niscaya kita akan dapatkan bahwa
yang terjadi hanyalah manipulasi istilah.
Adapun prinsip-prinsip perekonomian
syariat, di antaranya yang berkaitan dengan
mudharabah dan hibah, sama sekali tidak
terwujud. Yang demikian itu dikarenakan:
- Pada transaksi mudharabah, yang di bagi
adalah hasil/ keuntungan, sedangkan pada
asuransi umum syariah di atas, yang dibagi
adalah modal atau jumlah premi yang telah
disetorkan.
- Pada akad mudharabah, pelaku usaha
(perusahaan asuransi) mengembangkan
usaha riil dengan dana nasabah guna
mendapatkan keuntungan. Sedangkan pada
asuransi umum syariat, perusahaan asuransi,
sama sekali tidak mengembangkan usaha
guna mengelola dana nasabah.
- Pada kedua jenis asuransi syariat di atas,
perusahaan asuransi telah memaksa nasabah
untuk menghibahkan seluruh atau sebagian
preminya. Disebut pemaksaan, karena
perusahaan asuransi sama sekali tidak akan
pernah siap bila ada nasabah yang ingin
menarik seluruh dananya, tanpa menyisakan
sedikitpun. Padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda,
( ﻻ ﻳﺤﻞ ﻣﺎﻝ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺴﻠﻢ ﺇﻻ ﺑﻄﻴﺐ ﻧﻔﺲ ﻣﻨﻪ ) ﺭﻭﺍﻩ
ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ
ﻭﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali
dengan dasar kerelaan jiwa darinya." (HR.
Ahmad, ad-Daraquthny, al-Baihaqy dam
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan
al-Albany).
- Pengunaan istilah mudharabah dan
tabarru' untuk mengambil dana/ premi
nasabah ini tidak dapat mengubah hakikat
yang sebenarnya, yaitu dana nasabah
hangus.
Dengan demikian, perusahaan asuransi telah
mengambil dana nasabah dengan cara-cara
yang tidak dihalalkan. Ini sama halnya
dengan minum khamr yang sebelumnya telah
diberi nama lain, misalnya minuman
penyegar, atau suplemen.
ﻋﻦ ﻋُﺒَﺎﺩَﺓَ ﺑﻦ ﺍﻟﺼَّﺎﻣِﺖِ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺻﻠّﻢ ) ﻟَﻴَﺴْﺘَﺤِﻠَّﻦَّ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ
ﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﺑِﺎﺳْﻢٍ ﻳُﺴَﻤُّﻮﻧَﻬَﺎ ﺇِﻳَّﺎﻩُ .( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ
ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
Dari sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu
‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, "Sunggung-sungguh
akan ada sebagian orang dari umatku yang
akan menghalalkan khamr, hanya karena
sebutan/ nama (baru) yang mereka berikan
kepada khamr." (HR. Ahmad, Ibnu Majah
dan dishahihkan oleh al-Albani).
Sungguh perbuatan semacam inilah yang
jauh-jauh hari dilarang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
sabdanya,
( ﻻ ﺗﺮﺗﻜﺒﻮﺍ ﻣﺎ ﺍﺭﺗﻜﺒﺖ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻓﺘﺴﺘﺤﻠﻮﺍ ﻣﺤﺎﺭﻡ ﺍﻟﻠﻪ
ﺑﺄﺩﻧﻰ ﺍﻟﺤﻴﻞ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺔ، ﻭﺣﺴﻨﻪ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻭﺗﺒﻌﻪ
ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﻴﻢ ﻭﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ
"Janganlah kalian melakukan apa yang
pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi,
sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang
diharamkan Allah hanya dengan sedikit
rekayasa." (HR. Ibnu Baththah, dan
dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan diikuti
oleh dua muridnya yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu
Katsir).
KEJADIAN KEDUA: Apabila nasabah
menerima uang klaim, dan ternyata uang
klaim yang ia terima lebih sedikit dari
jumlah total setoran yang telah ia bayarkan.
Kedua kejadian ini diharamkan, karena
termasuk dalam keumuman firman Allah
Ta'ala,
ﻳَﺄَﻳُّﻬﺎ ﺍﻟَّﺬﻳﻦ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻋَﻦْ ﺗَﺮَﺍﺽٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ
"Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta sesama
kamu dengan cara-cara yang bathil, kecuali
dengan cara perniagan dengan asas suka
sama suka di antara kamu." wallahu a’lam

Rabu, 11 September 2013



Kajian Ushul fikih (Mahkum Bihi)
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.  
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.
1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
    1. Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia kehendaki.
    2. Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
    1. Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
    2. Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
    3. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
    4. Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
    5. Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
    6. Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:
Artinya:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
    1. Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
    2. Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
    3. Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.
2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamai tathawwu'.
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
  1. Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.
  2. Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
  1. Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
  2. Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.
3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
  1. Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
  2. Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang dhanniy, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.
5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
  1. Berdasarkan penerangan syara;
    1. Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
    2. Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
  2. Tidak adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.
6. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.
7. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
  1. Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.
    Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
  2. Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya.
    Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
    Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah.
    Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
8. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
  1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
  2. Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
  3. Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
  4. Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
  5. Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
9. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
  1. Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
  2. Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.
    Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.
10. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
  1. Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
  2. Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
  1. Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
  2. Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.

Senin, 29 Juli 2013

Kajian ushul fikih tentang Al Hakim(Yang Menetapkan Hukum)



Al Hakim (Yang Menetapkan Hukum)
Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasuI-Nya.  
Tidak ada perselisihan pendapat dikalangan ulama yang lurus itulah yang menjadi hakim sesudah rasuI diutus dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasuI diutus? Golongan Mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasuI diutus, akaI manusia itulah yang menjadi hakim, karena akaI manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya(yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk).
OIeh karena itu mukalIaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oIeh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.
Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Allah SWT.
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. (al An'âm: 57)
Diantara dalil yang menguatkan pendapat jumhur ialah firman Allah:
$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu  
Artinya:
Dan tidaklah Kami menyiksa sesuatu umat sehingga Kami bangkitkan seorang rasul. (al-Isrâ': 15)
Diantara dalil yang dipergunakan oleh golongan Mu'tazilah ialah firman Allah:
@è% žw ÈqtGó¡o ß]ŠÎ7sƒø:$# Ü=Íh©Ü9$#ur
Artinya:
Katakanlah olehmu, tidak bersamaan dengan yang buruk dengan yang baik. (al-Mâidah: 100)
Sebagaimana terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah menyiksa manusia lantaran menyalahi rasul sebelum sampai kepada mereka seruan rasul-rasul itu dengan cara yang semestinya, demikian pula ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hisab dan pembalasan umum secara adil diberikan juga berdasarkan bekasan-bekasan amal pada jiwa menurut petunjuk akal.
Namun yang pasti dalam kajian Ushul Fiqih, Hakim adalah Pembuat/pemutus hukum secara hakiki, yakni Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam memutuskan hukum secara hakiki adalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam surat al-An’am ayat 57:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya aku berada di atas hujah yang nyata dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”
Wallahu a’lam